Sahijab – Tunisia adalah negara demokrasi berbentuk Republik. Sekitar 98 persen penduduknya beragama Islam dan Islam sebagai agama resmi negara. Namun, baru sekitar delapan tahun pascalengsernya Ben Ali dari Presiden, publik Tunisia berani menunjukkan identitas keislamannya.
Kebijakan Ben Ali memang kontroversial. Orang menyebutnya sebagai tokoh sekularisme Tunisia. Salah satu yang dilarang di ruang publik di masa kepemimpinannya adalah penggunaan hijab bagi wanita. Hijab dianggap sebagai salah satu bentuk identitas kuno yang melawan arus modernisme Tunisia. Tunisia adalah negara bekas jajahan Perancis, yang kulturnya kental dipengaruhi oleh Barat. Bahasa resminya Perancis dan Arab.
Baca juga: Arab Saudi Putuskan Haji 2020 Diadakan dengan Jumlah Jamaah Terbatas
Kini, Tunisia sedang menatap masa depan yang lebih cerah. Mereka saat ini sangat aktif membangun infrastruktur di negaranya, seperti Indonesia. Mimpi lama mereka “sederhana”, ingin menjadi negara Muslim modern, demokratis, toleran, dan maju seperti tetangga dekatnya, Eropa.
Sebagaimana kita tahu, Tunisia adalah bekas jajahan Perancis. Gaya hidupnya nyaris me-ngopy masyarakat Barat. Bebas dan egaliter. Konon, negeri-negeri yang dijajah Perancis, selain kehilangan kekayaan material (gold), juga kehilangan identitas asli atau kebudayaannya. Negara serupa bisa disebut seperti Maroko (Maghribi), Aljazair, dan Libya.
Thobib Al-Asyhar, Wakil Ketua Komisi Infokom MUI
Gaya hidup masyarakat Tunisia, yang paling mencolok adalah cara mereka berpakaian dan pergaulan. Sepenglihatan Thobib Al-Asyhar, Wakil Ketua Komisi Infokom MUI, seperti dikutip Sahijab dari laman MUI, gaya hidup mereka tidak jauh beda dengan orang Turki (setidaknya pernah melihat langsung).
Orang mau mengenakan pakaian apa saja boleh. Berhijab boleh. Mengenakan niqab tidak dilarang. Berbaju kasual sopan silahkan. Yang pakai tank-top juga tidak sedikit. Perempuan nyopir ugal-ugalan banyak. Cewek ngerokok di cafe-cafe dengan pakaian aduhai, juga enggak kehitung. Cewek bawa anjing ke mal, juga ada. Pokoke bebas. Yang penting tidak mengganggu privasi orang lain.
Bagaimana dengan dunia hiburan? Layaknya ibu kota negara, Tunisa banyak tempat-tempat hiburan dan wisata. Pantai-pantai, restoran, cafe, hiburan malam banyak. Bahkan, di belakang wisma KBRI, ada kawasan danau Lac. Di situ, ada tempat hiburan/wisata semacam Ancol, dengan berbagai arena permainan, seperti Jet Coster, kora-kora, turangga, histeria, dan lain-lain. Saat Thobib dan rombongan ke wisma KBRI untuk jamuan makan malam, di belakangnya terdengar teriakan cewek-cewek ABG dan histeris yang sedang ikut berbagai permainan.
Yang menarik, di sebelah tempat wisata ini ada tempat wisata danau Lac. Tempatnya sangat indah, bersih, dengan view yang sangat amazing. Banyak muda-mudi berduaan sambil menikmati angin malam.
Jadi, kalau ada yang ingin ke Tunisa, tidak salah kok dijadikan destinasi. Tidak harus ke Eropa juga. Meski jauh di utara Afrika, tidak rugi loh kalau sudah sampai. Apalagi kalau bawa bekel dolar banyak, mau ke mana juga jadi.
Sebagai negara yang bertetangga dekat dengan Eropa, Tunisia memiliki watak kehidupan masyarakat yang egaliter dan demokratis. Mereka memiliki cara pandang yang bebas, dan sangat toleran atas berbagai perbedaan. Tak terkecuali, terhadap aliran dan paham keagamaan.
Konstitusi Tunisia memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Orang bebas mempraktikkan ritus agama. Yang penting, tidak mengganggu ketertiban umum. Namun, di sini seperti ada yang paradoks. Konstitusinya menyuruh orang patuh pada ajaran Islam. Juga Presidennya pun disyaratkan harus Muslim. Tapi di sini, tidak diizinkan mendirikan partai politik atas dasar agama. Juga, larangan dakwah secara terang-terangan.
Artinya, Islam di Tunisia sebatas bingkai formil. Semua praktik kehidupan keberagamaan bersifat individual. Negara dan agama memiliki wilayah yang berbeda. Meski ada Republique Tunisienne Ministere des Affaires Religieuses (Wizarat al-Sayau’u al-Diny), tetapi tetap saja agama dikembalikan pada urusan individu. Masing-masing orang dilarang sok tahu dalam masalah keyakinan dan keagamaan orang lain. Meski demikian, negara tetap memfasilitasi keperluan agama masyarakat yang berhubungan dengan administrasi, seperti ibadah haji, perkawinan, dan lain-lain.
Kota Tunisia
Intinya, di Tunisia itu bebas soal beragama. Saleh dan tidak saleh adalah urusan masing-masing dengan Tuhannya. Agama tidak boleh dijadikan justifikasi perilaku yang dapat merugikan orang lain. Pokoknya, agama itu sangat privat. “Buktinya? Yups, setidaknya saya tidak melihat orang-orang berduyun-duyun pergi ke masjid sholat Jumat. Mereka hidupnya, nyantai and slow. Secara masjid juga jarang di kota Tunis,” tutur Thobib, yang menjabat Kabag Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama.
Terus, apakah Tunisia mengurus pengembangan wakaf (endowment) seperti di negara-negara Arab dan Muslim lainnya? Ternyata, di sini tidak ada urusan wakaf. Demikian juga persoalan sertifikasi halal tidak diurus oleh Kementerian Agama setempat. Masalah halal, berarti bicara ekonomi, bukan bicara soal keagamaan. Jadi, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) jangan pernah mengajukan kerja sama dengan Kementerian Agama di sini.
Bagaimana dengan aturan poligami di Tunisia? Pasti banyak yang ingin tahu nih. Apalagi, belakangan ada tersebar info-grafis kalau Pemerintah Tunisia mewajibkan poligami. Tidak! Itu HOAX besar. Jangan percaya terhadap info yang viral tanpa rujukan yang jelas. Pastinya, para lelaki senang sekali terhadap soal-soal seperti ini. Apalagi, disertai foto-foto cewek cantik Tunisia, dengan caption-caption menantang pulak. Sekali lagi, stop hoax!
Lalu, apa faktanya? Yups. Tunisia adalah negara Islam kawasan Arab, pertama yang secara resmi menghapuskan poligami pada tahun 1956. Saat ini, Tunisia masih merupakan salah satu dari sedikit negara mayoritas Islam yang secara hukum melarang poligami. “Jadi, janganlah pada mimpi poligami di Tunisia, ya bapak-bapak ganjen. Sueerrr dah. Bahkan, poligami dalam hukum positif mereka sebagai tindak pidana. Wallahu a’lam,” tutur Thobib.
Baca juga: Istri Minta Cerai, Bagaimana Hukumnya dalam Islam Apakah Boleh?